Ironi, Korban, dan Harapan Operator Selluler

Saturday, January 14, 2006
Tanggal 26 Mei 2005 lalu PT Telekomunikasi Selular, atau lebih dikenal dengan sebutan Telkomsel, merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh.
Pada tanggal itulah sepuluh tahun lalu diumumkan pembentukan PT Telkomsel sebagai anak perusahaan patungan antara PT Telkom dan PT Indosat, yang masing-masing memiliki saham sebesar 51 persen dan 49 persen.
Tentu tidak banyak orang tahu bahwa nama Telkomsel awalnya adalah brand name dari produk dan layanan telepon seluler percontohan dari PT Telkom di Pulau Batam dan Bintan, yang dimulai sekitar awal Juli 1993.

Pada medio tahun 1993 pula PT Satelindo yang bergerak di bidang penyelenggaraan telekomunikasi satelit domestik dan telepon seluler GSM lahir di Jakarta. Mengambil patokan kedua peristiwa tersebut, tidak salah kiranya bila kini kita mengatakan bahwa pertengahan tahun 2005 ini adalah 12 tahun kehadiran telepon seluler GSM di Indonesia.
Proyek percontohan sistem telepon seluler GSM dari Telkom yang dimulai pertengahan 1993 pada mulanya adalah dimaksudkan untuk ”mempertahankan kedaulatan” udara Indonesia dari ”intervensi” sinyal telepon seluler jenis analog milik Singapore Telecom (SingTel).
Ironisnya, saat ini SingTel menguasai 35 persen saham Telkomsel dan berjaya menduduki dua posisi direktur strategis di antara lima anggota direksi Telkomsel.
Keikutsertaan Indosat dalam pembentukan Telkomsel di kemudiannya adalah dimaksudkan untuk mendongkrak harga Indosat yang saat itu dalam persiapan go public sebagian sahamnya secara dual listed di bursa saham Indonesia (Jakarta dan Surabaya) dan Amerika Serikat (New York).

Dalam rangka penyelesaian proses kepemilikan silang antara Telkom dan Indosat di beberapa anak perusahaan sekaligus penerapan kompetisi duo-poli pada tahun 2001, Telkom memperoleh kontrol atas Telkomsel, sedangkan Indosat mendapatkan Satelindo. Ironi, kedua perusahaan yang namanya mengandung suku kata ”sat”, kependekan dari ”satelit”, justru fokus di bisnis penyelenggaraan seluler GSM.

Ironi lain—yang di kemudian hari menjadi hikmah—adalah kelahiran PT Satelindo pada tahun 1993 yang mayoritas sahamnya saat itu dimiliki keluarga Cendana. Kekuasaan di sekitar Satelindo kala itu amat ”menabukan” kehadiran jaringan seluler Telkomsel di area Jakarta sebagai kompetitornya. Kenyataan inilah yang kemudian membawa Telkomsel melakukan ”pengembaraan”, yaitu membangun infrastrukturnya mulai dari luar Pulau Jawa, masuk satu-dua kota di Jawa sebentar dan keluar lagi berputar di luar Jawa.

Pembangunan ala gerilya yang menggunakan strategi ”desa kepung kota” inilah yang kira-kira menyemangati pembangunan coverage Telkomsel. Telkomsel sukses menggelar coverage nasional 27 provinsi dari Sabang sampai Merauke pada pengujung tahun 1996, dan pada dasawarsa usianya, Telkomsel telah mencakup seluruh wilayah kabupaten. Adapun Satelindo sejak akhir 2002 telah menutup riwayatnya berkaitan dengan proses peleburan vertikal bersama seluler Indosat M3 ke dalam induknya, PT Indosat, yang sekitar 42 persen sahamnya dibeli oleh STT Singapura.

Operator GSM ketiga yang hadir di tengah masyarakat adalah PT Excelcomindo Pratama dengan merek dagang XL pada Oktober 1996. Kehadiran XL kemudian disusul pada awal 2002 oleh operator penyelenggara telepon seluler GSM kecil-kecilan dengan lisensi operasi di Jawa Timur, yaitu Natrindo milik Lippo Telecom yang bernaung di bawah bendera Grup Lippo.
Korban pun berjatuhan
XL saat ini 27,3 persen sahamnya telah dimiliki oleh Telecom Malaysia (TM), sedangkan Lippo Telecom 51 persen kepemilikannya telah pula berpindah ke operator Maxis Malaysia. Bila kelak dalam waktu dekat saham TM di XL bertambah menjadi 80 persen, lengkaplah ironi penyelenggaraan bisnis empat operator telepon seluler GSM di Indonesia, yaitu total 208 persen sahamnya dikuasai oleh jiran Singapura dan Malaysia.

Kehadiran seluler GSM di tengah masyarakat dengan cakupan operasi yang relatif merata dan ditunjang dengan open distribution channel (ODC) ternyata telah memangsa beberapa korban. Pola distribusi ODC hasil rancangan Telkomsel inilah yang merupakan momentum reformasi, berupa pemisahan nomor telepon yang disimpan dalam kartu SIM—sebagai produk operator—dengan pasar terminal ponsel sebagai barang komoditas bebas.

Korban pertamanya adalah empat operator seluler berteknologi analog NMT dan AMPS yang sejak awal 1990-an bisnisnya berorientasi pada penjualan terminal ponsel ketimbang hubungan telepon. Upaya Satelindo mempertahankan sistem lock- up, yaitu membundel kartu SIM dengan ponsel, pun tidak berlangsung lama karena sekitar September 1996 Telkomsel berhasil menembus ”blokade” Jakarta dan menerapkan pasar bebas ODC yang disusul kemudian dengan peluncuran ”produk sakti” berupa prabayar pertama di Asia, yaitu kartu simPATI, seperti yang kita kenal sekarang ini.

Kehancuran bisnis seluler analog NMT dan AMPS pada tahun 1996 dengan investasi ratusan BTS-nya sebenarnya terlalu dini. Hal ini bukanlah disebabkan life time perangkatnya, tetapi lebih dikarenakan pola pemasaran dari para operatornya yang kaku dan monopolistik, ditambah kelakuan para investornya yang amat pelit dalam membangun coverage.
Kehadiran GSM dua belas tahun silam pada awalnya sangat diharapkan dapat membangun kerja sama saling sinergi berupa pemanfaatan fasilitas kantor- kantor pos yang tersebar luas di seantero negeri, baik untuk jaringan distribusi pemasaran maupun penempatan perangkat BTS. Malang tak dapat ditolak dan untung tak sampai diraih, kelambatan birokrasi di jajaran perusahaan BUMN itu dalam mengantisipasi booming seluler mengakibatkan rancangan saling menguntungkan tersebut tidak pernah mulus terlaksana sampai sekarang.

Mimpi buruk yang menjadi kenyataan akhirnya singgah juga di PT Pos Indonesia. Korban yang cukup mengenaskan akibat kehadiran telepon seluler GSM terjadi di sektor pelayanan surat-menyurat dan telegram. Kemudahan berkirim pesan singkat SMS melalui ponsel GSM secara mutlak meruntuhkan tingginya gunung kartu pos yang dulu sering kita saksikan pada berbagai acara undian di layar televisi.

Korban lain akibat kehadiran telepon seluler GSM adalah bisnis RPUU (radio panggil untuk umum) atau lebih dikenal dengan sebutan pager, yang tanpa ampun nyungsep dilibas habis. Tamatnya bisnis dan pelayanan pager di beberapa kota besar Indonesia amatlah tidak dinyana sebelumnya mengingat tahun 1996-an adalah era keemasan bisnis pager sebagai alat penerima berita dan merupakan life style, dengan tersedianya pesawat-pesawat pager warna-warni berbagai merek beserta aksesorinya di toko-toko elektronika. Bayangkan, berapa banyak investasi yang sia-sia dan berapa banyak pula jumlah operator penyambungan pager saat itu yang harus kehilangan lapangan kerja.

Korban terakhir telepon GSM yang belum sampai mati tetapi sudah dalam keadaan ngos-ngosan adalah pelayanan telepon umum, baik yang menggunakan koin maupun kartu. Antrean panjang orang yang akan menggunakan telepon umum di terminal-terminal bus, stasiun-stasiun kereta api, dan bandara-bandara, yang sepuluh tahun lalu merupakan pandangan sehari-hari, saat ini tidak kita saksikan lagi. PT Telkom pun sepertinya cuek aje pada kondisi fasilitas telepon umum yang terkadang dalam kondisi kumuh, rusak, dan gelap.

Telepon genggam saat ini sudah definitif menjadi kebutuhan masyarakat luas di semua daerah yang terjangkau sinyal seluler, bukan lagi sekadar fashion, gaya hidup, apalagi simbol status. Jumlah penggunanya pun membengkak luar biasa, dalam kurun hanya 12 tahun telah mencapai sekitar 35 juta (53 persen di antaranya adalah pengguna Telkomsel). Bandingkan dengan jumlah pelanggan Telkom yang merupakan induk perusahaan Telkomsel, selama 60 tahun Indonesia merdeka perusahaan monopoli ini hanya mampu membangun customer base sekitar 9,5 juta.

Penghentian pembangunan telepon kabel, dan menggantinya dengan penggelaran fixed wireless access (FWA), di masa depan sudah diperkirakan akan melahirkan pelbagai fenomena baru. Para pemain FWA, baik Esia, Flexi, maupun StarOne, pada umumnya hanya melihat dari sisi investasi capex pembangunan yang murah dan obral-obral nomor, padahal di luarnya terdapat masalah kebutuhan perkantoran, fixed-mobile convergency, lisensi 3G, data pelanggan, sekuriti, mahalnya harga terminal, dan lain-lain.

Harapan masa depan
Multiplier effect dalam kehidupan masyarakat dari kehadiran GSM adalah tumbuhnya industri telepon seluler secara atraktif dan mengesankan di seluruh Indonesia. Di semua kota kita bisa mendapatkan bursa hand phone GSM, baik yang menjual ”hape” baru maupun ”second”, kios-kios paket perdana serta ragam voucher isi ulang dari segala operator GSM yang mengudara.
Begitu pula di seantero kota bertebaran para ritel produk seluler, baik di dalam toko, warung, maupun gelaran. Seluler GSM ternyata tidak hanya padat teknologi dan padat modal, tetapi industri ini di Indonesia telah berubah menjadi sebuah belantika yang amat padat karya. Bila asosiasi wartel pernah mengklaim melibatkan satu juta manusia pekerja, boleh jadi industri seluler Indonesia menutup lowongan kerja sebanyak satu setengah kalinya.
Dalam perspektif lain, para supplier ponsel pun melihat Indonesia sebagai pasar yang luar biasa daya serapnya. Hal ini tentu tidak lepas dari keinginan pamer dan budaya ”biar bokek asal gaya” sebagian masyarakat kita. Akibatnya, banyak produk ponsel kelas atas yang belum dijual di lain negara tetapi sudah launching di Indonesia.

Selama 12 tahun GSM di Indonesia, adakah pembelajaran yang diperoleh darinya?
Penyelenggaraan telekomunikasi adalah sebuah well regulated industry, artinya kita bisa mencontoh regulasi dari negara yang telah lebih maju dengan memodifikasi sesuai kondisi yang ada. Pembangunan jaringan telepon seluler ataupun FWA lainnya, selain membutuhkan dana besar, secara teknis juga memerlukan spektrum frekuensi yang lebar.
Kelemahan regulasi telekomunikasi kita selama lima tahun belakangan ini telah nyata membuahkan banyak permasalahan dalam pengaturan dan penerbitan lisensi, tanpa mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi nasional.

Masih dalam konteks asas manfaat dalam penyelenggaraan jasa nirkabel, pernahkah terbayangkan oleh kita bahwa di setiap kota besar Indonesia akan terpancar dua belas sinyal dari BTS operator yang berbeda? Terdapat empat operator GSM, yaitu Telkomsel, Indosat, XL, dan Natrindo, ditambah delapan operator CDMA, yaitu Mobile-8, WIN, CAC, Mandara, Primasel, Flexi, StarOne, dan Esia. Tidak satu negara pun di dunia yang membiarkan investasi nasionalnya terhambur untuk investasi tanah, gedung, menara, perangkat, dan transmisi bagi penggelaran sistem telekomunikasi seluler yang pada dasarnya serupa oleh 12 penyelenggara sekaligus.

Akibat dari pola bisnis yang hancur-hancuran, kini telah lahir pula tren baru dalam pemakaian nomor telepon yang tersimpan dalam kartu SIM GSM atau kartu RUIM CDMA jenis prabayar yang dijual murah; yaitu beli, pakai, dan buang.

Pemakaian dengan modus seperti ini disebut churn atau discontinue number, jumlahnya diperkirakan sekitar dari 50 persen dari nomor telepon yang dikeluarkan.
Dominasi GSM terhadap sistem seluler yang lain tidak dapat disangsikan lagi. Hampir seluruh peserta kuis SMS yang diundi di stasiun-stasiun televisi tercatat menggunakan sistem GSM. Di lain pihak, sampai saat ini belum ada upaya serius dan terpadu mengatasi dampak negatif dari maraknya pemakaian kartu GSM prabayar di Indonesia sehingga penipuan, ancaman, dan pelecehan melalui SMS tumbuh tanpa halangan.

Namun, sistem prabayar ternyata cocok dengan selera masyarakat kita.

Selusin tahun pengoperasian seluler GSM di Indonesia bolehlah dijadikan sebagai tonggak awal, babak baru dari industri telekomunikasi kita, guna menunjang mobilitas dan produktivitas masyarakat serta sekuriti nasional. Regulator dituntut lebih profesional dan selektif dalam pengeluaran lisensi penyelenggaraan serta izin penggunaan spektrum frekuensi.
Dalam keprihatinan yang mendalam mengingat tidak satu pun operator GSM di Indonesia yang sahamnya tidak dimiliki pihak asing, seharusnya para anak bangsa yang bekerja di dalamnya tetap menjaga rasa memiliki citra budaya dan nasionalisme dalam berkarya.

Bisnis dan produk seluler adalah media yang ampuh dalam pemanfaatan sumber daya bangsa. Salah satunya, merek-merek dagang seperti kartu Halo, Mentari, simPATI, si Jempol, Flexi, Bebas, dan yang lainnya menunjukkan bahwa bahasa Indonesia menyimpan banyak perbendaharaan kata.Pada dekade kedua, bolehlah kita berharap agar tidak lagi ada produk-produk yang merek dagangnya seperti kehabisan akal dan bernuansa judi seperti hoki, as atau ceki, dan sebangsanya. Bukankah bahasa Indonesia kaya dengan keindahan khazanah dan makna? Indonesia, aku cinta kau!
posted by wahjoe at 12:03 AM | Permalink |

[ back home ]

Comments for Ironi, Korban, dan Harapan Operator Selluler

About me

My Photo
Name:
Location: Semarang, Central Java, Indonesia

Wahyu Thanks to: Allah SWT pemilik penuh jiwa ragaku, Muhammad SAW pembawa risalahku, Ibu n Bapak perantara hidupku, big family of Ps, memori terindahku di STEMBA Semarang (sebuah kisah klasik), teman temanku di TKJ Classes(kalianlah yang terbaik), peri peri yang pernah datang dan pergi (jadikan pelajaran, tetaplah menjadi bintang di langit..), saudara saudaraku (aku memang pengecut), my teacher mr Agus, mr joesti, mr taufik thanks for your gift, jln mugas barat dan dalam sebagai saksi bisu hidupku -sad n happy, lonely, spare n busy, semua yang telah kuterima dan kurasakan "myself is my best ever had", dunia yang masih mau menyelimutiku, dont miss me, I do love you all....

Links

Favourite Links

Friends Blog

My Shout Box

University Links

SemRawut Yo :)

News Links

Goverment Links

Favourite Links

Download Yuk !!

Waktu Terus Berlalu

Credits

  Distributed by:
Template copyright :
V4NY ONLY TEMPLATES
Powered by :
Powered by Blogger